Jumat, 04 April 2008

TEKNOLOGI PEMBUATAN PELET

Pelet merupakan bentuk bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan konsentrat atau hijauan dengan tujuan untuk mengurangi sifat keambaan pakan. Patrick dan Schaible (1980) menjelaskan keuntungan pakan bentuk pelet adalah meningkatkan konsumsi dan efisiensi pakan, meningkatkan kadar energi metabolis pakan, membunuh bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang tercecer, memperpanjang lama penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin. Stevent (1981) menjelaskan lebih lanjut keuntungan pakan bentuk pelet adalah 1) meningkatkan densitas pakan sehingga mengurangi keambaan, mengurangi tempat penyimpanan, menekan biaya transportasi, memudahkan penanganan dan penyajian pakan; 2) densitas yang tinggi akan meningkatkan konsumsi pakan dan mengurangi pakan yang tercecer; 3) mencegah “de-mixing” yaitu peruraian kembali komponen penyusun pelet sehingga konsumsi pakan sesuai dengan kebutuhan standar. Proses pengolahan pelet merujuk pada Pujaningsih (2006) terdiri dari 3 tahap, yaitu pengolahan pendahuluan, pembuatan pelet dan perlakuan akhir.
Pengolahan Pendahuluan
Proses pendahuluan ditujukan untuk pemecahan dan pemisahan bahan-bahan pencemar atau kotoran dari bahan yang akan digunakan. Setelah seluruh bahan baku disiapkan, tahap selanjutnya adalah menggiling bahan baku tersebut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan ukuran partikel yang seragam--berbentuk tepung (mash) (McEllhiary, 1994). Seluruh bahan yang telah digiling, ditimbang dengan menggunakan timbangan duduk. Selanjutnya, bahan–bahan tersebut dicampurkan.
Pembuatan Pelet
Pembuatan pelet terdiri dari proses pencetakan, pendinginan dan pengeringan. Perlakuan akhir terdiri dari proses sortasi, pengepakan dan pergudangan. Menurut Pfost (1964), proses penting dalam pembuatan pelet adalah pencampuran (mixing), pengaliran uap (conditioning), pencetakan (extruding) dan pendinginan (cooling).
Proses kondisioning adalah proses pemanasan dengan uap air pada bahan yang ditujukan untuk gelatinisasi agar terjadi perekatan antar partikel bahan penyusun sehingga penampakan pelet menjadi kompak, durasinya mantap, tekstur dan kekerasannya bagus (Pujaningsih, 2006). Proses kondisioning ditujukan untuk gelatinisasi dan melunakkan bahan agar mempermudah pencetakan. Disamping itu juga bertujuan untuk membuat : (1) Pakan menjadi steril, terbebas dari kuman atau bibit penyakit; (2) Menjadikan pati dari bahan baku yang ada sebagai perekat; (3) Pakan menjadi lebih lunak sehingga ternak mudah mencernanya dan (4) Menciptakan aroma pakan yang lebih merangsang nafsu makan ternak.
Walker (1984) menjelaskan bahwa selama proses kondisioning terjadi penurunan kandungan bahan kering sampai 20% akibat peningkatan kadar air bahan dan menguapnya sebagian bahan organik. Proses kondisioning akan optimal bila kadar air bahan berkisar 15 – 18%. Winarno (1997) menjelaskan lebih lanjut bahwa kadar air yang lebih dari 20% akan menurunkan kekentalan larutan gel hasil gelatinisasi.
Efek lain dari proses kondisioning yaitu menguapnya asam lemak rantai pendek, denaturasi protein, kerusakan vitamin bahkan terjadinya reaksi “Maillard”. Reaksi ‘Maillard’ yaitu polimerisasi gula pereduksi dengan asam amino primer membentuk senyawa melanoidin berwarna coklat, proses ini terjadi akibat adanya pemanasan (Muller, 1988). Warna coklat pada bahan ini menurut Muller (1988) menurunkan mutu penampakan warna pelet. Nikersond dan Louis (1978) menambahkan bahwa pemanasan dapat menyebabkan dehidrasi pada gula. Gula yang terdehidrasi membentuk polimer sesama gula yang diikuti oleh gugus amina membentuk senyawa coklat.
Gelatinasi merupakan sumber perekat alami pada proses “pelleting”. Pencetakan merupakan tahap pemadatan bentuk melalui alat extruder. Temperatur bahan sebelum masuk ke dalam mesin pencetak sekitar 80°C dengan kelembaban 12–15%. Kelemahan sistem ini adalah diperlukannya tambahan air sebanyak 10 – 20% ke dalam campuran pakan, sehingga diperlukan pengeringan setelah proses pencetakan tersebut. Penambahan air dimaksudkan untuk membuat campuran atau adonan pakan menjadi lunak, sehingga bisa keluar melalui cetakan. Jika dipaksakan tanpa menambahkan air ke dalam campuran, mesin akan macet dan pelet yang keluar dari mesin pencetak biasanya kurang padat (Pujaningsih, 2006).
Selama proses kondisioning terjadi peningkatan suhu dan kadar air dalam bahan sehingga perlu dilakukan pendinginan dan pengeringan (Walker, 1984). Proses pendinginan (cooling) merupakan proses penurunan temperatur pelet dengan menggunakan aliran udara sehingga pelet menjadi lebih kering dan keras. Proses ini meliputi pendinginan butiran-butiran pelet yang sudah terbentuk, agar kuat dan tidak mudah pecah. Pengeringan dan pendinginan dilakukan pada tahap ini untuk menghindarkan pelet itu dari serangan jamur selama penyimpanan
Pengeringan pada intinya adalah mengeluarkan kandungan air di dalam pakan menjadi kurang dari 14%, sesuai dengan syarat mutu pakan ternak pada umumnya. Proses pengeringan perlu dilakukan apabila pencetakan dilakukan dengan mesin sederhana. Jika pencetakan dilakukan dengan mesin pelet sistem kering, cukup dikering anginkan saja hingga uap panasnya hilang, sehingga pelet menjadi kering dan tidak mudah berubah kembali ke bentuk tepung (Pfost, 1964).
Proses pengeringan bisa dilakukan dengan penjemuran di bawah terik sinar matahari atau menggunakan mesin. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Penjemuran secara alami tentu sangat tergantung kepada cuaca, higienitas atau kebersihan pakan harus dijaga dengan baik, jangan sampai tercemar debu atau kotoran dan gangguan hewan atau unggas yang dikhawatirkan akan membawa penyakit. Jika alat yang digunakan mesin pengering, tentu akan memerlukan biaya investasi dan biaya operasional yang cukup tinggi.
Perlakuan Akhir
Penentuan ukuran pelet disesuaikan dengan jenis ternak. Pujaningsih (2206) melaporkan bahwa diameter pelet untuk sapi perah dan sapi pedaging adalah 1,9 cm (0,75 inci), untuk anak babi 1,5 cm (0,59 inci) dan babi masa pertumbuhan 1,6 cm (0,62 inci), untuk ayam pedaging periode starter dan finisher 1,2 cm (0,48 inci). Garis tengah pelet untuk pakan dengan konsentrasi protein tinggi adalah 1,7 cm (0,67 inci) dan 0,97 cm (0,38 inci) untuk pakan yang mengandung urea.

PENGOLAHAN PAKAN HIJAUAN

Pengolahan pakan merupakan suatu kegiatan untuk mengubah pakan tunggal atau campuran menjadi bahan pakan baru atau pakan olahan. Bahan pakan baru yang dihasilkan dari proses pengolahan diharapkan mengalami peningkatan kualitas. Proses pengolahan pakan ini mempunyai beberapa tujuan, diantaranya adalah : (1) Meningkatkan kualitas bahan; (2) Memudahkan penyimpanan; (3) Pengawetan; (4) Meningkatkan palatabilitas; (5) Meningkatkan efisiensi pakan dan (6) Memudahkan penanganan dan pencampuran pada pembuatan pakan jadi.

Negara-negara tropis yang mempunyai dua musim mengalami fluktuasi dalam penyediaan hijauan pakan. Musim penghujan merupakan musim yang banyak akan hijauan pakan dan bahkan sering berlebih, sedangkan pada musim kemarau merupakan musim paceklik sehingga seringkali hijauan yang ada mempunyai kualitas yang rendah.

Negara-negara subtropis yang mempunyai empat musim, membuat hijauan awetan kering yang disebut “hay” atau “hooi” untuk menghadapi musim salju (Kirchgeβner, 1997), di saat hijauan segar tidak akan didapatkan. Hijauan awetan kering kurang populer di negara tropis, karena hijauan pakan boleh dikatakan tersedia sepanjang tahun. Namun kenyataannya pada musim kemarau, lebih-lebih kemarau panjang, hijauan pakan sulit didapatkan dan kalaupun ada hijauan tersebut mempunyai kualitas yang sangat rendah. Menurut Soebarinoto (1998) alternatif untuk mengatasi kekurangan hijauan pakan, dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain sebagai berikut : (1) Membeli hijauan pakan dari daerah lain; (2) Mengurangi jumlah ternak yang dipelihara pada saat kekurangan hijauan pakan; (3) Mengawetkan hijauan yang berlebih untuk digunakan pada saat kekurangan hijauan pakan; (4) Menanam lebih dari satu jenis hijauan pakan untuk meratakan puncak-puncak produksi dan (5) Menjaga kesuburan tanah semaksimal mungkin.

Upaya lain untuk menghindari kelangkaan pakan, dilakukan cara-cara pengadaan hijauan dengan kualitas yang baik untuk penyediaannya sepanjang tahun. Cara – cara ini dilakukan melalui sistim pengawetan dan pengolahan (Reksohadiprodjo, 1984). Lebih lanjut dipaparkan oleh Reksohadiprodjo (1984) bahwa sistim pengawetan dilakukan melalui pembuatan silase (awetan hijauan segar) dan hay (awetan hijauan kering), sedangkan pengolahan dapat dilakukan dengan pengolahan secara fisik (pencacahan, penggilingan atau pemanasan), secara kimia (perlakuan alkali dan amoniasi) dan secara biologi yang umumnya dilakukan dengan metode fermentasi yang menggunakan jasa mikrobia selulolitik.

Teknologi pembuatan hay

Hay adalah hijauan pakan, berupa rerumputan/leguminosa yang disimpan dalam bentuk kering berkadar air: 20-30%. Pembuatan Hay bertujuan untuk menyeragamkan waktu panen agar tidak mengganggu pertumbuhan pada periode berikutnya, sebab tanaman yang seragam akan memiliki daya cerna yang lebih tinggi (Linn dan Martin, 1993). Tujuan khusus pembuatan Hay adalah agar tanaman hijauan (pada waktu panen yang berlebihan) dapat disimpan untuk jangka waktu tertentu sehingga dapat mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau. Ada dua metode pembuatan Hay yang dapat diterapkan yaitu metode hamparan dan metode pod (Harding, 1978)

Metode Hamparan

Merupakan metode sederhana, dilakukan dengan cara menghamparkan hijauan yang sudah dipotong di lapangan terbuka di bawah sinar matahari. Setiap hari hamparan di balik-balik hingga kering. Hay yang dibuat dengan cara ini biasanya memiliki kadar air: 20 - 30% (tanda: warna kecoklat-coklatan)

Metode Pod

Dilakukan dengan menggunakan semacam rak sebagai tempat menyimpan hijauan yang telah dijemur selama 1 - 3 hari (kadar air ± 50%). Hijauan yang akan diolah harus dipanen saat menjelang berbunga (berkadar protein tinggi, serat kasar dan kandungan air optimal), sehingga hay yang diperoleh tidak berjamur (tidak berwarna “gosong”) yang akan menyebabkan turunnya palatabilitas dan kualitas.